Baru-baru ini telah terbit edaran tentang Pemasangan Spanduk Ucapan Natal dan Tahun Baru oleh Kanwil Kemenag Sulawesi Selatan. Sudah ada permintaan agar Kanwil Kemenag Sulsel mencabut surat edaran tersebut, namun hal itu tidak dilakukan. Ini dibenarkan oleh Staf Khusus Menteri Agama (Stafsus Menag) Bidang Toleransi, Terorisme, Radikalisme, dan Pesantren, Nuruzzaman.
(republika.co.id, 18/12/2021)
Meskipun edaran spanduk ucapan Natal bagi semua jajaran Kemenag Sulsel menuai protes masyarakat, namun dianggap harus tetap dilanjutkan untuk menegaskan sikap pemerintah terhadap isu ucapan Natal. Bahkan MUI dan Parpol Islam pun tampak mendukung kebijakan ini dengan menyatakan tidak ada larangan tegas dari syariat untuk mengucapkan selamat Natal kepada pemeluk agama Nasrani.
Pertanyaan dan pernyataan tentang boleh tidaknya mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani ini selalu menjadi topik menarik untuk diperbincangkan. Menyikapi hal tersebut, Anggota Komisi VIII DPR RI Fraksi PKS Bukhori Yusuf menyampaikan bahwa tidak ada paksaan bagi pihak yang mau mengucapkan ataupun tidak mengucapkan.
Hal ini disampaikan setelah Anggota Komisi Agama DPR itu menjelaskan definisi moderasi beragama dan moderasi agama. Moderasi agama berakibat pada berubahnya syariat, ajaran atau keyakinan agama, sedang moderasi beragama adalah sikap moderat dalam berperilaku agama," terang Bukhori melalui keterangan tertulis yang diterima fajar.co.id, Minggu (19/12/2021).
Sekilas tentang Moderasi
Kata Moderasi berasal dari bahasa Latin "moderatio" yang berarti ke-sedang-an. Maksud sedang "sedang" di sini adalah tidak berlebihan dan tidak kekurangan.
Sementara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KKBI) arti kata "moderasi" adalah pengurangan kekerasan. Arti lainnya adalah penghindaran keekstreman.
Bila dirangkai dengan "beragama", maka makna "moderasi beragama" adalah sikap tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Tidak terlalu keras atau terlalu lembut. Dengan kata lain sedang-sedang saja atau mengambil jalan tengah.
Sehingga menyakini agamanya sendiri yang paling benar adalah sebuah kesalahan. Dalam moderasi beragama harus menonjolkan sikap saling menghargai terhadap agama lain, menyakini ide pluralisme dan menjunjung tinggi toleransi.
Moderasi Bukan dari Islam
Istilah moderasi yang berarti juga jalan tengah, sebenarnya sudah muncul sejak lama, tepatnya pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya dan mengisap darah rakyat.
Maka timbullah pergolakan sengit yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak, sedang sebagian yang lain mengakui agama tapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Ide ini dianggap sebagai kompromi (jalan tengah) antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka dengan mengatasnamakan agama dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama.
(Taqiyyudin an-Nabhani, Nizham Al-Islam, bab Qiyadah Fikriyah)
Ide ini kembali mencuat saat terjadi insiden meledaknya Gedung WTC 11 September 2001. Kejadian ini menjadi jalan masuk bagi AS untuk mengampanyekan perang terhadap teroris yang ditujukan kepada Islam. Istilah Islam moderat mulai diperkenalkan guna mengadang Islam yang terindikasi radikal dan ekstrem.
Dari sini bisa dipahami bahwa "moderasi" atau jalan tengah bukanlah lahir dari akidah Islam, namun lebih sebagai reaksi dari kalangan intelektual Barat yang memberontak keterlibatan agama dalam kehidupan.
Atas nama keadilan dan perdamaian dunia, para pengusung moderasi ini kemudian menyerang ajaran-ajaran Islam yang dianggap tidak sejalan dengan napas "jalan tengah." Sehingga menuding seorang muslim yang memperjuangkan penerapan Islam kaffah sebagai muslim radikal, ekstrem, dan intoleran.
Islam Agama Sempurna
Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Al-Maidah ayat 5:]
اليوم أكملت لكم دينكم واتممت عليهم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا
"Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu."
Seorang muslim mestilah terikat dengan syahadat yang telah diucapkan dan menyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diridai oleh Allah. Sehingga tidak layak mensejajarkan agama Islam dengan agama lainnya.
Ide pluralisme yang digaungkan oleh kaum moderat menepis hal itu dengan dalih intoleran. Dan itu tidak berkesesuaian dengan tujuan moderasi beragama yang ingin menampilkan kesan damai, ramah, dan menjunjung sikap toleransi.
Islam sendiri tidak menampik adanya keragaman dalam beragama karena memang tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 256
لا اكراه فى الدين
قدتبين الرشدمن ألغي
"Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat."
Namun sekali lagi, syahadat yang telah diucapkan merupakan identitas dari seorang muslim yang mengandung konsekuensi ketaatan pada Allah. Dalam hal akidah dan ibadah tidak diperkenankan bagi seorang Muslim mengikuti atau bahkan merayakan hari besar umat dari akidah lain. Termasuk di sini adalah mengucapkan selamat Natal kepada kaum Nasrani ataupun hari besar lainnya, apalagi ikut merayakan.
Rasulullaah saw. bersabda, yang artinya:
"Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya dan ini (Idul Adha dan Idul Fitri) adalah hari raya kita."
(HR. Al-Bukhari dan muslim)
Sikap Seorang Muslim
Mewaspadai upaya-upaya orang kafir untuk menjauhkan umat dari ajaran Islam yang sahih harus ditumbuhkan, walaupun secara zahir isu toleransi yang dikemas apik dengan istilah "moderasi beragama" tampak indah dipandang dan enak didengar.
Karena sejatinya ide tersebut justru akan menggerus akidah umat dan bisa menghantarkan pada kemurtadan. Na'uzubillah.
Patutlah kita renungkan seruan Allah Swt. dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 120:
"Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)."
Wallaahu a'lam bishshawab.
Post a Comment